Hukum Menyemen dan Mengkijing Kuburan

Hukum Menyemen dan Mengkijing Kuburan 

Hukum Menyemen dan Mengkijing Kuburan

1. Dasar Hadis

Rasulullah ﷺ bersabda:
Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wasallam melarang menyemen kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya.” (HR. Muslim no. 970)

Sebagian kelompok seperti Salafi/Wahabi memahami hadis ini secara kaku dan harfiah, lalu menyimpulkan bahwa menyemen atau membangun apapun di atas kuburan adalah haram mutlak.

Dari pemahaman seperti ini, pemerintah Saudi di masa awal kekuasaannya menghancurkan banyak makam bersejarah Islam, termasuk:
  • Makam Āminah binti Wahb (ibunda Nabi ﷺ),
  • Sayyidah Khadījah, istri pertama Nabi ﷺ,
  • Abu Thālib dan ‘Abdul Muthallib, serta ribuan sahabat besar Nabi ﷺ.
Bahkan sempat muncul wacana pemindahan makam Nabi Muhammad ﷺ dari Masjid Nabawi, tapi gagal karena mendapat penolakan keras dari para ulama dunia.
 
Pada tahun 2014, ISIS—yang juga berideologi serupa—melakukan hal yang sama:
  • Meledakkan makam Nabi Nuh, Nabi Syits, Nabi Daniel, dan Nabi Jirjis,
  • Menghancurkan Masjid Arbain yang berisi 40 sahabat,
  • Serta makam sahabat Uwais al-Qarni, Ammar bin Yasir, dan Hujr bin ‘Adi di Suriah.
Bagi mereka, kuburan dianggap seperti berhala yang harus dihancurkan.

2. Pandangan Empat Mazhab Ahlusunnah

Empat mazhab besar Islam—Hanafi, Maliki, Syafi‘i, dan Hanbali—tidak memahami hadis tersebut secara kaku melainkan dilihat dulu konteksnya.

a. Jika di tanah umum (tanah wakaf / pemakaman bersama)

Haram dan wajib dibongkar. Karena tanah itu milik umat Islam bersama. Kalau setiap kubur disemen dan dikijing, akibatnya:
  • Pemakaman cepat penuh dan sempit,
  • Menyulitkan kaum Muslimin lain untuk dimakamkan,
  • Menyulitkan peziarah berjalan di antara makam.
Jadi larangannya bukan karena kuburan itu seperti berhala, tetapi karena menzalimi hak umat Islam lain.

b. Jika di tanah milik pribadi

Makruh, artinya tidak dianjurkan tapi tidak sampai haram. Karena tidak mengganggu hak orang lain, namun lebih baik sederhana, mengikuti teladan Rasulullah ﷺ yang memerintahkan kesederhanaan dalam penguburan.

3. Dasar dari Kitab-Kitab Fikih

Dalam Fath al-Mu‘īn karya Syekh Zainuddin al-Malibari (hal. 219) disebutkan:
“Makruh membangun kubur, baik di atasnya maupun untuknya, kecuali jika ada kebutuhan seperti takut digali binatang atau hanyut air. Tapi jika dibangun di tanah wakaf atau pemakaman umum, maka hukumnya haram dan wajib dihancurkan, karena mempersempit lahan kaum Muslimin.”

Sedangkan dalam Al-Fiqh ‘ala al-Mazāhib al-Arba‘ah karya Abdurrahman al-Jaziri (juz 1, hal. 536):
“Makruh membangun rumah, kubah, sekolah, masjid, atau tembok di atas kubur bila tidak untuk pamer.
Tapi jika untuk bermegah-megahan atau pamer harta, maka haram.”

4. Kalau di Tanah Pribadi Tapi Dihias Mewah?

Haram. Karena termasuk tabdzir (membuang-buang harta) dan riya’ (pamer kemewahan).
Padahal tujuan ziarah kubur adalah mengambil pelajaran dan mengingat kematian, bukan untuk pamer status keluarga.

5. Pengecualian: Makam Para Nabi dan Ulama

Para ulama sepakat, larangan ini tidak berlaku untuk makam para nabi, sahabat utama, dan ulama besar, karena:
  • Tujuannya melindungi dan melestarikan situs bersejarah Islam,
  • Bukan untuk disembah atau diagungkan berlebihan.

Sejak masa sahabat dan tabi‘in, makam orang saleh diberi tanda atau bangunan sederhana agar dikenal, dijaga dari perusakan, dan menjadi sarana mengingat perjuangan mereka.

Maka membangun di atas kubur tidak otomatis syirik, tergantung niat dan tujuannya.

Konsekuensi:

Salafi menghukumi Musyrik siapa saja yang membangun kubur baik ditanah wakaf maupun tidak, karena dianggap sama membangun berhala.

Adapun Ahlusunnah berbeda, jika tanahnya tanah umum pelaku dosa karena termasuk tabdzir (membuang-buang harta), bukan Dosa karena menyekutukan Allah karena membuat berhala.

LihatTutupKomentar