Ironi di Balik Penolak Khilafah: Bukan Ahli Fikih, Tapi Paling Nyaring Bicara Syariat
Ada satu hal menarik di negeri ini. Mereka yang paling keras menolak gagasan khilafah, sering kali bukan ulama besar, bukan ahli fikih yang paham mendalam soal syariat. Justru yang paling ribut adalah mereka yang hidupnya penuh belokan ada yang pernah jatuh, ada yang tersesat arah, dan ada pula yang sekadar mencari tempat aman di sisi kekuasaan.
Dari sekian nama yang dikenal publik, ada Abu Janda, Imam Nakhai, dan tentu saja Islah Bahrawi nama yang paling nyaring, paling sering muncul di televisi, dan paling lantang bicara soal “bahaya khilafah.” Tapi ketika kisah hidupnya ditelusuri, yang muncul bukanlah jejak keulamaan, melainkan perjalanan panjang penuh drama duniawi.
Namun, di negeri itu, nasib malah makin keras. Ia pernah mencoba masuk ke lembaga pendidikan di Virginia, tapi gagal. Ia bekerja serabutan, jadi buruh, bahkan sempat hidup menggelandang di New York. Dalam sebuah pengakuannya, ia pernah tidur di jalanan dan memungut sisa makanan di belakang restoran selama berbulan-bulan.
Dari santri pesantren di Madura, kini ia hanyalah orang asing di negeri asing terlunta-lunta di jalanan kota besar Amerika.
“Saya memang pernah dipenjara. Semua orang tahu. Saya divonis tiga tahun karena dianggap menyalahgunakan wewenang dalam jabatan di dalam kongsi usaha saya sendiri.”
Ia menjalani hukuman di Lapas Terbuka Kelas IIB. Dari balik jeruji besi itulah hidupnya berubah arah lagi. Tapi kali ini bukan menuju jalan taubat, melainkan ke dunia baru: dunia panggung dan opini publik.
Dari situ, pintu ke lembaga negara terbuka. Ia diundang ke Mabes Polri, menjadi narasumber di berbagai forum, bahkan dipercaya sebagai tenaga ahli dalam program kontra-radikalisme. Banyak yang melihatnya sebagai “wajah Islam moderat,” padahal sebagian lain menilai ia sekadar mengulang narasi yang diinginkan penguasa.
Namun gaya itu tak pernah berubah. Ia terus tampil di televisi, diundang ke acara kementerian, dan dijadikan “ikon moderasi.” Makin keras ia menyerang kelompok Islam, makin besar panggung yang diberikan padanya.
Dari pengusaha gagal menjadi narasumber nasional. Dari napi menjadi penasihat deradikalisasi. Dan dari jalanan New York, kini ia berdiri di panggung negara.
Kini, ketika arah politik berubah dan kekuasaan berganti warna, Islah tak lagi di panggung utama. Ia tak lagi menjadi suara pemerintah.
Islah pun berbalik Arah.
Dulu yang pro pemerintah Jokowi, menuntut pembubaran ormas H dan F.
Narasi itu padam.
Islah kini kerap mengkritik pemerintah Prabowo dan Gibran dengan lantang.
Begini ucapan Islah Di Twitternya
“15 tahun lebih saya berperang melawan kelompok yang mengharamkan Pancasila dan demokrasi. Tiba-tiba bangunan demokrasi di Indonesia dipreteli sendiri oleh mereka yang justeru dilahirkan dari rahim demokrasi. Kecewa?
Ya iyalah!!
Ini serasa dibacok kawan sendiri.”
Begitulah ungkapan Islah dikecewakan kawan kawannya.
Di 30 September 2025 Islah juga menulis kekesalannya
“Sekedar pengingat:
NU dipecah belah. PARPOL diacak-acak. TNI-POLRI diracun tanpa meritokrasi. KPK dibuntungi. KEJAKSAAN dibuat tak bernyali. MK dibajak. Konstitusi dirusak.
Anaknya dipaksakan harus jadi Wapres. Anak yang satu lagi diatur supaya jadi ketua Parpol. Mantunya dijadikan gubernur. Mereka adalah yang konon "lebih suka berbisnis daripada berpolitik", katanya. Benar-benar di tangan pembual, negara ini kayak milik mbahnya sendiri.
Anehnya, manusia macam begitu masih saja dijadikan berhala. Toloinya lagi, masih ada pulak penyembahnya...
Begitulahh……
Kekecewaan Islah dengan istana.
Bagi sebagian orang, nasib Islah itu seperti disanjung selama berguna, lalu disingkirkan saat arus berubah.
Dan dari kisah ini, umat belajar sesuatu: siapa pun yang menukar dakwah dengan dunia, akan kehilangan keduanya. Hari ini mungkin dipuji karena melawan syariat, tapi besok akan ditinggalkan, bahkan oleh tangan yang dulu mengangkatnya.
Sebab cahaya kebenaran tak butuh izin dari penguasa. Dan perjuangan menegakkan kalimat Allah tak menunggu restu siapa pun. Ia tetap hidup di hati umat, sementara nama-nama yang menentangnya akan memudar pelan-pelan, seiring waktu yang menyingkap segalanya.
Yang abadi bukan panggung, bukan jabatan, bukan sorotan kamera. Yang abadi hanya “Lā ilāha illallāh.”
Dari sekian nama yang dikenal publik, ada Abu Janda, Imam Nakhai, dan tentu saja Islah Bahrawi nama yang paling nyaring, paling sering muncul di televisi, dan paling lantang bicara soal “bahaya khilafah.” Tapi ketika kisah hidupnya ditelusuri, yang muncul bukanlah jejak keulamaan, melainkan perjalanan panjang penuh drama duniawi.
Dari Madura ke Jakarta: Jejak Awal
Islah Bahrawi lahir di Bangkalan, Madura, dari keluarga pesantren. Ia sempat belajar di lingkungan Pesantren Syaikhona Kholil, tapi tak lama. Mondoknya hanya sebentar, tak lama sewaktu SMA sebelum kemudian memilih keluar dan mencari arah lain. Dari santri ia berubah menjadi pegiat sastra, lalu terjun ke dunia tulis-menulis di Jakarta.
Merantau ke Amerika: Dari Bisnis Gagal ke Hidup Menggelandang
Sekitar akhir 1990-an, hidupnya tampak menjanjikan. Ia punya bisnis kontraktor pameran, klien besar, dan hidup mapan. Tapi krisis moneter 1998 menghantam keras. Usahanya gulung tikar, utang menumpuk, dan kehidupannya berantakan. Dalam keputusasaan, ia memutuskan merantau ke Amerika Serikat untuk mencari peruntungan.
Namun, di negeri itu, nasib malah makin keras. Ia pernah mencoba masuk ke lembaga pendidikan di Virginia, tapi gagal. Ia bekerja serabutan, jadi buruh, bahkan sempat hidup menggelandang di New York. Dalam sebuah pengakuannya, ia pernah tidur di jalanan dan memungut sisa makanan di belakang restoran selama berbulan-bulan.
Dari santri pesantren di Madura, kini ia hanyalah orang asing di negeri asing terlunta-lunta di jalanan kota besar Amerika.
Kasus Hukum dan Masa Tahanan
Beberapa tahun kemudian ia kembali ke Indonesia, mencoba bangkit lewat usaha baru. Tapi lagi-lagi hidup berkata lain. Tahun-tahun setelah kepulangannya diwarnai dengan masalah hukum. Dalam wawancara dengan Suaranasional (13 Juni 2022), Islah mengakui,“Saya memang pernah dipenjara. Semua orang tahu. Saya divonis tiga tahun karena dianggap menyalahgunakan wewenang dalam jabatan di dalam kongsi usaha saya sendiri.”
Ia menjalani hukuman di Lapas Terbuka Kelas IIB. Dari balik jeruji besi itulah hidupnya berubah arah lagi. Tapi kali ini bukan menuju jalan taubat, melainkan ke dunia baru: dunia panggung dan opini publik.
Dari Mantan Napi ke Tokoh Moderat
Selepas masa hukumannya, Islah muncul lagi kali ini dengan wajah “baru.” Ia berbicara tentang Islam moderat, toleransi, dan bahaya radikalisme. Ia mendirikan lembaga bernama Jaringan Moderat Indonesia (JMI), yang mengusung agenda deradikalisasi dan kebangsaan.Dari situ, pintu ke lembaga negara terbuka. Ia diundang ke Mabes Polri, menjadi narasumber di berbagai forum, bahkan dipercaya sebagai tenaga ahli dalam program kontra-radikalisme. Banyak yang melihatnya sebagai “wajah Islam moderat,” padahal sebagian lain menilai ia sekadar mengulang narasi yang diinginkan penguasa.
Kontroversi dan Gaya Kasar
Islah dikenal keras, kadang kasar, dan sering menyerang kelompok Islam sendiri. Ia pernah menghina santri Pondok Pesantren Sidogiri, hingga memicu kemarahan luas di kalangan Nahdliyin. Setelah tekanan datang dari berbagai pihak, ia akhirnya meminta maaf.
Namun gaya itu tak pernah berubah. Ia terus tampil di televisi, diundang ke acara kementerian, dan dijadikan “ikon moderasi.” Makin keras ia menyerang kelompok Islam, makin besar panggung yang diberikan padanya.
Refleksi Akhir
Bagi sebagian orang, Islah Bahrawi mungkin sosok inspiratif kisah tentang seseorang yang bangkit dari keluarga sederhana di Madura, meniti jalan penuh jatuh-bangun hingga akhirnya dikenal publik. Ia tampak seperti contoh keberhasilan: dari santri kecil menjadi figur nasional, dari keterpurukan ekonomi menjadi pembicara di panggung negara.
Dari pengusaha gagal menjadi narasumber nasional. Dari napi menjadi penasihat deradikalisasi. Dan dari jalanan New York, kini ia berdiri di panggung negara.
Kini, ketika arah politik berubah dan kekuasaan berganti warna, Islah tak lagi di panggung utama. Ia tak lagi menjadi suara pemerintah.
Islah pun berbalik Arah.
Dulu yang pro pemerintah Jokowi, menuntut pembubaran ormas H dan F.
Narasi itu padam.
Islah kini kerap mengkritik pemerintah Prabowo dan Gibran dengan lantang.
Begini ucapan Islah Di Twitternya
“15 tahun lebih saya berperang melawan kelompok yang mengharamkan Pancasila dan demokrasi. Tiba-tiba bangunan demokrasi di Indonesia dipreteli sendiri oleh mereka yang justeru dilahirkan dari rahim demokrasi. Kecewa?
Ya iyalah!!
Ini serasa dibacok kawan sendiri.”
Begitulah ungkapan Islah dikecewakan kawan kawannya.
Di 30 September 2025 Islah juga menulis kekesalannya
“Sekedar pengingat:
NU dipecah belah. PARPOL diacak-acak. TNI-POLRI diracun tanpa meritokrasi. KPK dibuntungi. KEJAKSAAN dibuat tak bernyali. MK dibajak. Konstitusi dirusak.
Anaknya dipaksakan harus jadi Wapres. Anak yang satu lagi diatur supaya jadi ketua Parpol. Mantunya dijadikan gubernur. Mereka adalah yang konon "lebih suka berbisnis daripada berpolitik", katanya. Benar-benar di tangan pembual, negara ini kayak milik mbahnya sendiri.
Anehnya, manusia macam begitu masih saja dijadikan berhala. Toloinya lagi, masih ada pulak penyembahnya...
Begitulahh……
Kekecewaan Islah dengan istana.
Bagi sebagian orang, nasib Islah itu seperti disanjung selama berguna, lalu disingkirkan saat arus berubah.
Dan dari kisah ini, umat belajar sesuatu: siapa pun yang menukar dakwah dengan dunia, akan kehilangan keduanya. Hari ini mungkin dipuji karena melawan syariat, tapi besok akan ditinggalkan, bahkan oleh tangan yang dulu mengangkatnya.
Sebab cahaya kebenaran tak butuh izin dari penguasa. Dan perjuangan menegakkan kalimat Allah tak menunggu restu siapa pun. Ia tetap hidup di hati umat, sementara nama-nama yang menentangnya akan memudar pelan-pelan, seiring waktu yang menyingkap segalanya.
Yang abadi bukan panggung, bukan jabatan, bukan sorotan kamera. Yang abadi hanya “Lā ilāha illallāh.”
Sumber: Ngopidiyyah ( https://www.facebook.com/share/p/1GwzvB1g9X/ )